Sabtu, 26 November 2011

AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT




A.     Pendahuluan
Al-Qur’an menempati posisi nomor satu sebagai sumber atau landasan hukum Islam, dari itu al-Qur’an sangat penting untuk terus dikaji dan didalami oleh setiap orang, khususnya bagi para pengkaji hukum-hukum Islam. Di antara kajian penting yang harus dikaji adalah tentang muhkam dan mutasyabihat, karena hal ini tidak terlepas dari Iktilaf Ulama. Pendapat yang paling shahih bahwa Al-Qur’an itu sebahagian ayatnya adalah muhkan dan sebagiannya lagi mutasyabih. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sikap kita terhadap ayat-ayat yang mutasyabih tersebut?
Dalam makalah ini penulis mencoba menjelaskan tentang Muhkam dan Mutasyabih. Dimulai dari pengertian, perbedaan pendapat ulama tentang mutasyabihat, Penafsiran, jenis-jenis ayat mutasyabihat, dan hikmahnya.
Pembahasan ini dikupas dalam bentuk makalah, kemudian disajikan dalam bentuk diskusi. Besar harapan penulis makalah ini bermanfaat, dapat menambah pemahaman, keilmuan khususnya di bidang ulumul Qur’an. Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis sangat mengharapkan kritik, saran, masukan dari semua pihak untuk kesempurnaan makalah ini.

B.     Pengertian
Muhkam berasal dari kata ihkam yang secara bahasa berarti ketelitian, keakuratan, kekukuhan, pencegahan dan keseksamaan.[1] Namun pengertin ini semua pada dasarnya kembali pada makna pencegahan. Kata Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang maknanya secara bahasa adalah yang sama, serupa[2], yang biasanya membawa kepada kesamaran di antara dua hal. Kedua kata ini terdapat dalam al-Qr’an. Pertama dalam firman Allah surat Hud ayat 1:
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»tƒ#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOŠÅ3ym AŽÎ7yz .
  Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,(QS. Hud (11):1)[3]

Kedua, firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 23:
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]ƒÏptø:$# $Y6»tGÏ. $YgÎ6»t±tFB uÎT$sW¨B Ïèt±ø)s? çm÷ZÏB ߊqè=ã_ tûïÏ%©!$# šcöqt±øƒs öNåk®5u §NèO ßû,Î#s? öNèdߊqè=ã_ öNßgçqè=è%ur 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# 4 y7Ï9ºsŒ yèd «!$# Ïöku ¾ÏmÎ `tB âä!$t±o 4 `tBur È@Î=ôÒムª!$# $yJsù ¼çms9 ô`ÏB >Š$yd .
Artinya:  Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang  gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.(QS. Az-Zumar (39) :23)[4]
Ketiga firman Allah balam surat Ali Imran ayat 7:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎqè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎnu 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.(QS.Ali Imran (3): 7)[5]

Kalau dilihat secara sepintas, ketiga ayat ini menimbulkan pemahaman yang saling bertentangan. Karena itu Ibn Habib al-Naisaburi menjelaskan bahwa dalam memahami ayat ini ada tiga pendapat. Pertama, bahwa al-Qur’an seluruhnya muhkam berdasarkan ayat pertama. Kedua, berpendapat bahwa al-Qur’an seluruhnya mutasyabihat berdasarkan ayat kedua. Ketiga, berpendapat bahwa al-Qur’an sebagian ayat al-Qur’an muhkam dan sebagian mutasyabih berdasarkan ayat yang ketiga, dan inilah pendapat yang lebih sahih. Sedangkan ayat pertama dimaksudkan dengan muhkamnya al-Qur’an adalah kesempurnaannya dan tidak adanya pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud mutasyabih pada ayat kedua adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan, dan kemukjizatannya. Sehubungan dengan ini Al-Zarqani, Shubhi al-Salih, dan Abd al-Mun’im al-Namir memandang sebenarnya tidak ada pertentangan antara ketiga ayat di atas. Lebih dari itu mereka menjelaskan bahwa yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini adalah ayat yang ketiga, bukan ayat pertama dan kedua.
Secara istilah, para ulama berbeda pendapat pula dalam mendefenisikan muhkam dan mutasyabih.. Di antara definisi yang dikemukan oleh al-Zarqani adalah sebagai berikut:
1.    Muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih adalah ayat yang tersembunyi maknanya, tidak diketahui maksudnya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus di awal surat. Pendapat ini dibangsakan Al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2.    Muhkam ialah ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, huruf yang terputus-putus di awal surat. Pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunnah sebagai pendapat yang terpilih dikalangan mereka.
3.    Mukam adalah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad.
4.    Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kpada isykal (kepelikan). Mutasyabih ialah lawannya. Muhkam atas kata benda, musytarak, dan lafal-lafal mubhamah (samar) ini adalah pendapat al-Tibi.
5.    Muhkam adalah ayat yang tunjukannya kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih adalah ayat yang tunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.
6.    Muhkam ialah ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibn Abbas.
7.    Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yag membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasybih ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau konteksnya. Lafaz musytarak masuk kepada mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Harmain.[6]
Dari berbagai defenisi di atas, dapat diketahui dua hal penting. Pertama, dalam membicarakan muhkam tidak ada kesulitan. Muhkam adalah ayat yang  jelas maknanya. Kedua, mutasyabih adalah sebaliknya. jadi pembicaraan tentang mutasyabih perlu dibahas lebih lanjut. Apa sumber yang melahirkan mutasyabih, dan bagaimana sikap ulama menghadapinya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sumber tasyabuh adalah ketersembunyian maksud Allah dari kalamNya. Secara rinci dapat dikatakan bahwa ketersembunyian itu bisa kembali kepada lafal atau kepada makna atau kepada keduanya sekaligus. Contoh ketersembunyian pada pada lafal adalah: وفا كهة وابا  lafal اب diartikan rumput rumputan berdasarkan pemahaman ayat sebelumnya:
$Yè»tG¨B öä3©9 öä3ÏJ»yè÷RL{ur
Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. (QS, ‘Abasa: (80):32)
Mutasyabih yang timbul dari ketersembunyian makna adalah ayat-ayat mutasyabihat tetang sifat-sifat Tuhan, seperti:
يدالله فوق ايدهم
            Tangan Allah di atas tangan mereka
            Mutasyabih yang timbul dari ketersembunyian pada makna dan lafal sekaligus adalah seperti:
 }§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur šVqãç7ø9$# ô`ÏB $ygκuqör& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè?
dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS. Al-Baqarah (2): 189)[7]

C.    Sumber Perbedaan Pendapat
Dalam membahas ayat-ayat mutasyabih terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah ayat-ayat mutasyabih ini ditafsirkan, ditakwilkan atau diimani dan diserahkan maksudnya kepada Allah. Maka dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama.
1.       Jumhur ulama ahl al-Sunnah dan sebagian dari ahl ar-Ra’yi (dari kalangan mu’tazilah) memandang tidak perlu ditafsirkan atau ditakwilkan, cukup diimani dan diserahkan maknanya kepada Allah. Argumennya adalah riwayat Abu Qasim dari Ummi Salamah ketika menafsirkan QS. Thaha: 5.
`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ
 (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy
Ia berkata cara Allah bersemayam itu tidak dapat dinalar, tetapi bersemayam Allah itu tidak samar lagi dan mengingkarinya kufur. Pandagan yang sama juga dianut oleh Zubaiq bin Abi Abdurrahman, Imam Malik, Muhammad Ibn Hasan, dan Imam Tirmidzi menambahkan bahwa ini pendapat kebanyakan ahli ilmu seperti Sofyan at-Tsauri, Malik Ibn Mubarak, Ibn Uyainah dan Waqi’ bin Jarrah.
2.       Pendapat sebagian ahl al-Sunnah dan  mayoritas ahl ar-Ra’yi berpandangan perlunya takwil terhadap ayat mutsyabih yang relevan dengan keagunga Tuhan .Argumen mereka adalah bahwa tidak boleh ada satu lafaz, kalimat, atau ayat yang tidak bisa diketahui oleh manusia, paling tidak dapat dikatahui oleh orang yang dalam ilmu pengatuannya (rasikh) seperti bersemayam (استوى)  dapat diartikan menguasai, naik atau adil.
3.       Pendapat ulama lain seperi Ibn Daqiq mengambil jalan tengah antara dua pendapat sebelumya. Pendapatnya adalah jika takwilnya relevan dengan bahasa arab, maka tidak boleh ditalak. Sebaliknya jika berlawanan maka harus titangguhkan dan tidak diamalkan serta cukup diimani saja . contohnya (جنب الله) dalam surat al-Zumar ayat 56 diartikan tidak menunaikan kewajiban kepada Allah adalah dekat dengan percakapan bahasa arab.[8]
Ayat-ayat mutasyabih dapat dilihat sebagai ayat metaforis atau simbolik al-Qur’an yang di dalamnya terdapat berbagai makna. Jadi ayat-ayat metaforis ini mengandung kebenaran al-Quran yang bersifat kontinu dan komulatif-sumatif. Kebenaran kontinum dan komulatif artinya bahwa makna kebenaran tidak berhenti dan final dalam suatu kurun waktu dan tempat,tetapi menelusuri semuanya sepanjang sejarah. Sedangkan kebenaran yang paling sempurna hanyalah milik Allah semata.
Untuk ayat-ayat metaforis itu,bukan hanya perlu penjelasan dan penafsiran, tetapi juga memerlukan takwil dengan berbagai variasinya yang melibatkan ketajaman dan intelektual manusia. Takwil dalam konteks ini merupakan alat yang dapat dipakai untuk membumikan al-Qur’an, agar al-Qur’an dapat dipahami dalam perkembangan mutaakhir,  baik dalam kerangka social dan cultural, maupun dalam rangka kemajuan ilmu pengetahuan dan teknelogi.[9]
D.    Perbedaan Penafsiran Ayat
Telah dikemukakan bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu berbagai sebab dan bentuknya. Dalam bagian ini bahasan  khusus tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat-sifat Tuhan, yang dalam istilah al-Suyuthi ayat al-Sifat, dan dalam istilah Shubi al-Shalih mutasyabih al-Sifat ayat yang termasuk dalam kategori ini sangat banyak di antaranya:
`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$#
Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy

uä!%y`ur y7u à7n=yJø9$#ur $yÿ|¹ $yÿ|¹
Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.

uqèdur ãÏd$s)ø9$# s-öqsù ¾ÍnÏŠ$t6Ïã (
Dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya
4tAuŽô£ys»tƒ 4n?tã $tB àMÛ§sù Îû É=Zy_ «!$#
Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah
4s+ö7tƒur çmô_ur y7Înu rèŒ È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
yìoYóÁçGÏ9ur 4n?tã ûÓÍ_øtã
Dan supaya kamu diasuh atas mataku

ßtƒ «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& 4 
Tangan Allah di atas tangan mereka
3 ãNà2âÉjyÛãƒur ª!$# ¼çm|¡øÿtR 3
Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.

Dalam ayat-ayat terdapat kata-kata “bersemayam”, “datang”, “di atas”, “sisi”, “wajah”, “mata”, “tangan”, dan “diri” yang dibangsakan atau dijadikan sifat bagi Allah. Kata-kata ini menunjukkan keadaan, tempat, dan anggota bagi makhluk yang baharu. Karena dalam ayat-ayat tersebut kata-kata ini dibangsakan kepada Allah yang qadim, maka sulit dipahami maksud yang sebenarnya, karena itu pula ayat-ayat tersebut dinamakan  mutasyabih al-sifat. Selanjutnya dipertanyakan apakah ayat-ayat ini dapat diketahui oleh manusia atau tidak?.
Dalam hal ini Shubi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab:
1.      Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mengimani sifat-sifat mutasyabihat itu dan menyerahkannya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana sebagaimana yang diterangkan al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri.
Inilah system penafsiran yang diterapkan oleh mazhab Salaf pada umumnya terdapat ayat-ayat mutasyabihat. Dalam menerapkan ini mempunyai dua argument, yaitu argument naqli dan aqli. Argument aqli adalah bahwa menentukan maksud ayat-ayat mutasyabihat hanyalah berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaannya dikalangan bangsa Arab. Penentuan seperti ini hanya dapat menghasilkan ketentuan yang bersifat zanni (tidak pasti). Sedangkan sifat-sifat Allah termasuk masalah akidah yang dasarnya tidak cukup dengan argument yang zanni. Lantaran yang qath’I (pasti) tidak diperoleh, maka kita tawaquf (tidak memutuskan) dan menyerahkan ketentuan maksudnya kepada Allah yang maha mengetahui.
Adapun dalam argument naqli, mereka mengemukakan hadits.
عن عا ئشة قالت: تلا رسول الله ص م. هذه الاية ( هوالذ انزل عليك الكاب الى قوله- اولوالالباب) قالت: قال رسول الله ص م.: فاذا رايت الذين يتبعون ماتشابه منه فاولئك الذين سمى الله فاحذرهم.
Al-Qur’an kepadamu…..sampai kepada….orang-orang yang berakal” berkata ia: Rasulullah SAW bersabda: jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan Allah, maka berhati-hatilah Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah Saw membaca ayat: “ialah yang menurunkan terhadap mereka (HR. Bukhari dan Muslim)
من حديث عمر وبن شعيب عن ابيه عن جده عن رسول الله ص م. قال: ان القران لم ينزل ليكذب بعضه بعضا فما عرفتم منه فعملوابه وما تشابه فامنوا به.
Dari Amir ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulull Saw, ia bersabda: sesungguhnya Al-Qur’an tidak diturunkan agar sebagiannya mendustakan sebagian yang lainnya; apa yang kamu ketahui daripadanya maka amalkanlah dan apa yang mutasyabih maka hendaklah kamu meyakininya.
2.      Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang layak dengan zat Allah. Karena itu mereka disebut pula muawwilah atau mazhab takwil. Mereka memaknakan istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam mini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintah-Nya, Allah berada di atas hambaNya dengan Allah maha tinggi, bukan berada di satu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat, “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan diri dengan siksa. Demikian sitem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama khalaf. Semua lafal yang mengandung makna cinta dan murka dan malu bagi Allah ditakwil dengan makna majaz yang terdekat[10]. Mereka berkata:
كل صفة يستحيل حقيقتها على الله تعالى تفسره بلازمه
setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi Alah ditakwilkan dengan kelazimannya”

Mazhab ini juga mempunyai dua argument yaitu aqli dan naqli. Menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalingkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tidak bermakna. Selama mungkin menakwilkan kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untu melakukannya. Lebih lanjut mazhab ini mempertanyakan apakah mungkin ada dalam al-Qur’aan sesuatu yang tidak kita ketahui maknanya?
Secara naqli mereka mengemukakan beberapa atsar sahabat:
عن ابن عبا س فى قوله (وما يعلمون تأويله الا الله والراسخون فى العلم) قال: انا ممن يعلمون تأويله.
              “Dari Ibn Abbas tentang firman Allah: “dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”; berkata Ibn Abbas: “saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya” (Diriwayatkan oleh Ibn Munzir)
عن الضحاك قال: الرا سخون فى العلم يعلمون تأويله لولم يعلموا ناسخه من منسوخه ولا حلا له من حرامه ولا محكمه من متشا بهه.
“Dari al-Dhahhak, berkata ia: “orang yang mendalam ilmunya mengetahui takwilnya. Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya mereka tidak mengetahui nasikh dari manskhnya, halalnya dari haramnya, dan muhkam dari mutasyabihnya” (Diriwayatkan oleh Abi Hatim)

Pada mulanya pendapat ini tidak dapat diterima oleh para ulama termasuk Ahlus Sunnah, kemudian ternyata sebagian Ahlus Sunnah menganutnya. Ibn Burhan dan Imam Nawawi memilih mazhab takwil ini. Dalam syarah Muslim, Imam Nawawi berkata:
Sesungguhnya pendapat inilah yang paling benar karena sulit diterima akal bahwa Allah menyeru hambaNya dengan sesuatu yang tidak mungkin bagi seorangpun dari makhlukNya dapat mengetahuinya”.

Di samping kedua mazhab ini masih ada pendapat ketiga. Sebagaimana dikemukakan oleh Al-Suyuthi bahwa Ibn Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibn Daqiq al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu dekat dari bahasa Arab maka tidak di pungkiri kebolehannya, jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskannya) kita meyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari sesuatu yang tidak layak bagiNya[11].
Secara teoritis perbedaan di atas bisa dikompromikan, dan secara praktis penerapan Mazhab Khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin berkembang dan kritis. Sebalikny Mazhab Salaf tetap sesuai bagi masyarakat yang secara intelektual tidak menuntut penakwilan ayat-ayat mutasyabihat. Sejalan dengan ini para ulama menyebutkan bahwa mazhab Salaf lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh kedalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan salah, dan Mazhab Khalaf Khalaf lebih selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argument aqli.
E.     Jenis-jenis Ayat Mutasyabihat
Menurut Al-Zarqani, ayat-ayat mutasyabihat dapat dibagi kepada tiga macam:
1.      Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak mampu mengetahuinya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifatNya, pengetahuan tentang kiamat da hal-hal gaib lainnya.  Allah berfirman dalam surat Thaha (20):5:
`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$#
Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy
2.      Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maknanya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul karena ringkasnya, panjangnya, ayat. Contoh firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 3:
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYtur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYtur ˈF{$# ßN$oYtur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»tuur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYör& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
3.      Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu yaitu ulama-ulama yang jernih jiwanya.
Melihat dari pembagian ayat-ayat mutasyabihat di atas, agaknya Az-Zarqani mengelompokkan ayat-ayat tersebut dari segi tingkat kesulitan dalam memahaminya, dalam artian beliau mengelompokkan berdasarkan orang yang akan memahaminya, rasikh tidaknya tingkat ilmu seseorang secara umum, para ulama secara khusus[12].
F.     Hikmah Keberadaannya Dalam Al-Qur’an
Mengenai hikmah tentang adanya ayat-ayat mutasyabihat di dalam al-Qur’an, para ulama telah banyak mengkaji hikmahnya, di antara hikmahnya seperti dibawah ini:
1.         Al-Suyuthi
Imam al-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan menyebutkan empat hikmh di antaranya:
a.  Ayat-ayat mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkapkan maksudnya sehingga menambah pahala bagi para pengkajinya.
b.      Sekiranya al-Qur’an seluruhnya muhkam tentunya hanya ada satu mazhab, akan tetapi karena al-Qur’an mengandung ayat muhkam dan matasyabihat maka masing-masing mazhab akan menggali dalil untuk menguatkan pendapatnya. Selanjutnya semua mazhab akan memperhatikan dan merenungkannya. Sekiranya mereka terus menggalinya maka ayat-ayat muhkamlah yang menjadi penafsirnya.
c.       Jika al-Qur’an mengandung ayat-ayat mutasyabihat, maka untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan lainnya.
d.      Al-Qur’an berisi dakwah terhadap orang-orang tertentu dan umum. Orang awam biasanya kurang menyukai hal-hal yang abstarak. Oleh karena itu sebaiknya kepada mereka disampaikan penjelasan yang sesuai dengan tingkatan akal mereka. Pertama adalah ayat-ayatmutasyabihat yang dengannya mereka diajak bicara pada tahap permulaan, lalu kemudian berupa ayat-ayat muhkamat  yang menjelaskan hakikat yang sebenarnya.[13]
2.      Al-Zarqani
Al-Zarqani menyebutkan sepuluh hikmah keberadaan ayat-mutasyabihah dalam al-Qur’an. Empat di antaranya hikmah yang telah disebutkan oleh al-Suyuthi di atas. Ke empat hikmah ini dikutib oleh menjelaskan bahwa ada enam hikamah keberadaan ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an:
a.         Ayat-ayat mutasyabihat merupakan rahmat bagi manusia yang lemah yang tidak adapat mengetahuisesuatu. Ketika Tuhan menampakkan dirinya pada bukit, bukit itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan. Bagaimana sekiranya Tuhan menampakkan hakikat zat dan sifatnya pada manusia? Tuhan merahasiakan kapan terjadinya harikiamat merupakan rahmat bagi manusia, agar manusia tidak bermalas-malas mempersiapkan perkalan untuk menghadapinya.
b.        Keberadaan ayat ini juga merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, apakah manusia             percaya atau tidak tentang hal gaib berdasarkan berita yang disampaikan oleh orang yang benar. Orang-orang yang mendapat hidayah akan mempecayainya sekalipun mereka tidak mengetahui rinciannya.sedangkan orang-orag yang sesat akan mengingkarinya.
c.         Ayat-ayat ini menjadi dalil atas kelemahan dan kebodohan manusia.
d.        Ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an menguatkan mu’jizatnya, sebab setiap ayat mengandung arti dan makna yang tersembunyi yang membawa kepada tasyabuh 9kesamaran) memiliki andil yang besar dalam kebalagahannya dan sampainya ketingkat yang paling tinggi dalam bayan.
e.         Keberadaan mutasyabihat mempermudah orang menghafal dan memelihara al-Qur’an. Sebab setiap kalimat yang mengandung banyak penafsiran yang berakibat ketidak jelasan akan menunjuk banyak makna yang lebih dari pengertian yang dipahami dari kalimat asal. Sekiranya makna-makna sekunder ini diungkapkan secara langsung niscaya al-Qur’an akan menjadi berjilid-jilid. Hal ini tentunya menyulitkan untuk menghafal, memahami dan memeliharanya.
f.         Terkandungnya ayat muhkamat dan mutasyabihat dalam al-Qur’an memaksa orang yang menelitinya untuk menggunakan argument-argumen akal. Dengan demikian ia terbebas dari taklid.[14]
G.    Penutup
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Dimana ayat-ayat muhkamat itu adalah ayat yang maknanya jelas dan terang sehingga  mudah untuk dipahami. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah kebalikannya, yaitu ayat-ayat yang samar maknanya dan sulit dimengerti maksud yang dikehendaki ayat tersebut, sehingga diperlukan usaha untuk memahaminya. Mengenai apakah ayat-ayat mutasyabih ini ditafsirkan, ditakwilkan atau diimani dan diserahkan maksudnya kepada Allah, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Meskipun demikian, apa yang dilakukan oleh para ulama termasuk upaya untuk mebumikan Al-Qur’an.

DAFTAR KEPUSTAKAAN


Al-Qur’an dan Terjemahan, Bandung: PT Syamil Cipta Media, 2002  
Al-Suyuthi Jalaluddin, Al-Itqan fi Ulumil qur’an, Kairo, 1941
Al-Zarqani, Manahilul Qur’an fi Ulimil qur’an, Kairo, 19
Abdul Wahid Ramli, Ulumul Qur’an, Jakarta: Raja Grafindi Persada, 1996
AM Rusydi, Ulumul Qur’an dan Tafsir,Padang: IAIN Press, 1998
Ali Atabik dan Zuhdi Muhdhlor Ahmad, Kamus kontemporer Arab Indonesia, Jakarta: Multi Karya Grafika, 1998
Hasan Syadali Hasan , Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Setoa, 2000




















[1] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhlor, Kamus kontemporer Arab Indonesia, (Jakarta: Multi Karya Grafika, 1998), h. 45
[2]  Ibid, h. 1607
[3] Departemen Agama Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: PT Syamil Cipta Media, 2002), h. 221  
[4] Ibid, h. 461
[5] Ibid, h. 50
[6] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 1996), h. 83-84
[7] Departemen Agama, op.cit, h. 29
[8] Rusydi AM, Ulumul Qur’an dan Tafsir, (Padang: IAIN Press, 1998), h.89-90
[9] Ibid, h.91
[10] Hasan Syadali, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Setoa, 2000), h. 218
[11] Ibid,h. 220
[12]  Al-Zarqani, Manahilul Qur’an fi Ulimil qur’an, (Kairo, 1954) h. 278-280

[13] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil qur’an, (Kairo, 1941), h. 13
[14] Al-Zarqani, op.cit, h. 282-285

Tidak ada komentar:

Posting Komentar