A.
Pendahuluan
Al-Qur’an
menempati posisi nomor satu sebagai sumber atau landasan hukum Islam, dari itu
al-Qur’an sangat penting untuk terus dikaji dan didalami oleh setiap orang,
khususnya bagi para pengkaji hukum-hukum Islam. Di antara kajian penting yang
harus dikaji adalah tentang muhkam dan mutasyabihat, karena hal
ini tidak terlepas dari Iktilaf Ulama. Pendapat yang paling shahih bahwa
Al-Qur’an itu sebahagian ayatnya adalah muhkan dan sebagiannya lagi mutasyabih.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sikap kita terhadap ayat-ayat yang mutasyabih
tersebut?
Dalam
makalah ini penulis mencoba menjelaskan tentang Muhkam dan Mutasyabih.
Dimulai dari pengertian, perbedaan pendapat ulama tentang mutasyabihat, Penafsiran,
jenis-jenis ayat mutasyabihat, dan hikmahnya.
Pembahasan
ini dikupas dalam bentuk makalah, kemudian disajikan dalam bentuk diskusi.
Besar harapan penulis makalah ini bermanfaat, dapat menambah pemahaman,
keilmuan khususnya di bidang ulumul Qur’an. Penulis sadar bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis sangat mengharapkan kritik, saran,
masukan dari semua pihak untuk kesempurnaan makalah ini.
B.
Pengertian
Muhkam berasal dari kata ihkam
yang secara bahasa berarti ketelitian, keakuratan, kekukuhan, pencegahan dan
keseksamaan.[1]
Namun pengertin ini semua pada dasarnya kembali pada makna pencegahan. Kata Mutasyabih
berasal dari kata tasyabuh yang maknanya secara bahasa adalah yang
sama, serupa[2],
yang biasanya membawa kepada kesamaran di antara dua hal. Kedua kata ini
terdapat dalam al-Qr’an. Pertama dalam firman Allah surat Hud ayat 1:
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»t#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOÅ3ym AÎ7yz .
Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan
rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang
Maha Bijaksana lagi Maha tahu,(QS. Hud (11):1)[3]
Kedua,
firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 23:
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]Ïptø:$# $Y6»tGÏ. $YgÎ6»t±tFB uÎT$sW¨B Ïèt±ø)s? çm÷ZÏB ßqè=ã_ tûïÏ%©!$# cöqt±øs öNåk®5u §NèO ßû,Î#s? öNèdßqè=ã_ öNßgçqè=è%ur 4n<Î) Ìø.Ï «!$# 4
y7Ï9ºs yèd «!$# Ïöku ¾ÏmÎ `tB âä!$t±o 4
`tBur È@Î=ôÒã ª!$# $yJsù ¼çms9 ô`ÏB >$yd .
Artinya: Allah Telah menurunkan perkataan yang
paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi
berulang-ulang gemetar karenanya kulit
orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian menjadi tenang kulit dan hati
mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu dia
menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang disesatkan Allah,
niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.(QS. Az-Zumar (39) :23)[4]
Ketiga
firman Allah balam surat Ali Imran ayat 7:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»t#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎqè=è% Ô÷÷y tbqãèÎ6®Kusù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö$#ur ¾Ï&Î#Írù's? 3
$tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3
tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎnu 3
$tBur ã©.¤t HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
Artinya:
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.(QS.Ali
Imran (3): 7)[5]
Kalau dilihat secara sepintas, ketiga ayat ini
menimbulkan pemahaman yang saling bertentangan. Karena itu Ibn Habib
al-Naisaburi menjelaskan bahwa dalam memahami ayat ini ada tiga pendapat. Pertama,
bahwa al-Qur’an seluruhnya muhkam berdasarkan ayat pertama. Kedua,
berpendapat bahwa al-Qur’an seluruhnya mutasyabihat berdasarkan ayat
kedua. Ketiga, berpendapat bahwa al-Qur’an sebagian ayat al-Qur’an muhkam
dan sebagian mutasyabih berdasarkan ayat yang ketiga, dan inilah
pendapat yang lebih sahih. Sedangkan ayat pertama dimaksudkan dengan muhkamnya
al-Qur’an adalah kesempurnaannya dan tidak adanya pertentangan antara
ayat-ayatnya. Maksud mutasyabih pada ayat kedua adalah menjelaskan segi
kesamaan ayat-ayat al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan, dan kemukjizatannya.
Sehubungan dengan ini Al-Zarqani, Shubhi al-Salih, dan Abd al-Mun’im al-Namir
memandang sebenarnya tidak ada pertentangan antara ketiga ayat di atas. Lebih
dari itu mereka menjelaskan bahwa yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini
adalah ayat yang ketiga, bukan ayat pertama dan kedua.
Secara istilah, para ulama berbeda pendapat pula dalam
mendefenisikan muhkam dan mutasyabih.. Di antara definisi yang
dikemukan oleh al-Zarqani adalah sebagai berikut:
1.
Muhkam adalah
ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih
adalah ayat yang tersembunyi maknanya, tidak diketahui maksudnya baik
secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya,
seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus di awal surat.
Pendapat ini dibangsakan Al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2.
Muhkam ialah
ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih
ialah ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti terjadinya
hari kiamat, keluarnya Dajjal, huruf yang terputus-putus di awal surat.
Pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunnah sebagai pendapat yang terpilih
dikalangan mereka.
3.
Mukam adalah
ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah
ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali
yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena
terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam
Ahmad.
4.
Muhkam adalah
ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kpada isykal (kepelikan). Mutasyabih
ialah lawannya. Muhkam atas kata benda, musytarak, dan
lafal-lafal mubhamah (samar) ini adalah pendapat al-Tibi.
5.
Muhkam adalah
ayat yang tunjukannya kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih adalah
ayat yang tunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal dan musykil.
Pendapat ini dibangsakan kepada al-Razi dan banyak peneliti yang
memilihnya.
6.
Muhkam ialah
ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih
ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini
dibangsakan kepada Ibn Abbas.
7.
Muhkam ialah
ayat yang seksama susunan dan urutannya yag membawa kepada kebangkitan makna
yang tepat tanpa pertentangan. Mutasybih ialah ayat yang makna
seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya
indikasi atau konteksnya. Lafaz musytarak masuk kepada mutasyabih
menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Harmain.[6]
Dari berbagai defenisi di atas, dapat diketahui dua
hal penting. Pertama, dalam membicarakan muhkam tidak ada kesulitan. Muhkam
adalah ayat yang jelas maknanya. Kedua,
mutasyabih adalah sebaliknya. jadi pembicaraan tentang mutasyabih perlu
dibahas lebih lanjut. Apa sumber yang melahirkan mutasyabih, dan
bagaimana sikap ulama menghadapinya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sumber tasyabuh
adalah ketersembunyian maksud Allah dari kalamNya. Secara rinci dapat
dikatakan bahwa ketersembunyian itu bisa kembali kepada lafal atau kepada makna
atau kepada keduanya sekaligus. Contoh ketersembunyian pada pada lafal adalah: وفا كهة وابا lafal اب diartikan rumput rumputan berdasarkan pemahaman
ayat sebelumnya:
$Yè»tG¨B öä3©9 öä3ÏJ»yè÷RL{ur
Untuk
kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
(QS, ‘Abasa: (80):32)
Mutasyabih
yang timbul dari ketersembunyian makna adalah ayat-ayat mutasyabihat tetang
sifat-sifat Tuhan, seperti:
يدالله فوق
ايدهم
Tangan
Allah di atas tangan mereka
Mutasyabih
yang timbul dari ketersembunyian pada makna dan lafal sekaligus adalah seperti:
}§øs9ur É9ø9$# br'Î (#qè?ù's? Vqãç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §É9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3
(#qè?ù&ur Vqãç7ø9$# ô`ÏB $ygκuqör& 4
(#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè?
dan
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan
itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya;
dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
(QS. Al-Baqarah (2): 189)[7]
C.
Sumber Perbedaan Pendapat
Dalam membahas ayat-ayat mutasyabih terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah ayat-ayat mutasyabih ini
ditafsirkan, ditakwilkan atau diimani dan diserahkan maksudnya kepada Allah.
Maka dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama.
1. Jumhur ulama
ahl al-Sunnah dan sebagian dari ahl ar-Ra’yi (dari kalangan
mu’tazilah) memandang tidak perlu ditafsirkan atau ditakwilkan, cukup diimani
dan diserahkan maknanya kepada Allah. Argumennya adalah riwayat Abu Qasim dari
Ummi Salamah ketika menafsirkan QS. Thaha: 5.
`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang
bersemayam di atas 'Arsy
Ia berkata cara Allah
bersemayam itu tidak dapat dinalar, tetapi bersemayam Allah itu tidak samar
lagi dan mengingkarinya kufur. Pandagan yang sama juga dianut oleh Zubaiq bin
Abi Abdurrahman, Imam Malik, Muhammad Ibn Hasan, dan Imam Tirmidzi menambahkan
bahwa ini pendapat kebanyakan ahli ilmu seperti Sofyan at-Tsauri, Malik Ibn
Mubarak, Ibn Uyainah dan Waqi’ bin Jarrah.
2. Pendapat
sebagian ahl al-Sunnah dan mayoritas
ahl ar-Ra’yi berpandangan perlunya takwil terhadap ayat mutsyabih yang
relevan dengan keagunga Tuhan .Argumen mereka adalah bahwa tidak boleh ada satu
lafaz, kalimat, atau ayat yang tidak bisa diketahui oleh manusia, paling tidak
dapat dikatahui oleh orang yang dalam ilmu pengatuannya (rasikh) seperti
bersemayam (استوى) dapat diartikan menguasai, naik
atau adil.
3. Pendapat
ulama lain seperi Ibn Daqiq mengambil jalan tengah antara dua pendapat sebelumya.
Pendapatnya adalah jika takwilnya relevan dengan bahasa arab, maka tidak boleh ditalak.
Sebaliknya jika berlawanan maka harus titangguhkan dan tidak diamalkan serta
cukup diimani saja . contohnya (جنب الله) dalam surat al-Zumar ayat 56
diartikan tidak menunaikan kewajiban kepada Allah adalah dekat dengan
percakapan bahasa arab.[8]
Ayat-ayat
mutasyabih dapat dilihat sebagai ayat metaforis atau simbolik al-Qur’an
yang di dalamnya terdapat berbagai makna. Jadi ayat-ayat metaforis ini
mengandung kebenaran al-Quran yang bersifat kontinu dan komulatif-sumatif.
Kebenaran kontinum dan komulatif artinya bahwa makna kebenaran tidak berhenti
dan final dalam suatu kurun waktu dan tempat,tetapi menelusuri semuanya
sepanjang sejarah. Sedangkan kebenaran yang paling sempurna hanyalah milik
Allah semata.
Untuk
ayat-ayat metaforis itu,bukan hanya perlu penjelasan dan penafsiran, tetapi
juga memerlukan takwil dengan berbagai variasinya yang melibatkan ketajaman dan
intelektual manusia. Takwil dalam konteks ini merupakan alat yang dapat dipakai
untuk membumikan al-Qur’an, agar al-Qur’an dapat dipahami dalam perkembangan
mutaakhir, baik dalam kerangka social
dan cultural, maupun dalam rangka kemajuan ilmu pengetahuan dan teknelogi.[9]
D. Perbedaan
Penafsiran Ayat
Telah dikemukakan bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu
berbagai sebab dan bentuknya. Dalam bagian ini bahasan khusus tentang ayat-ayat mutasyabihat yang
menyangkut sifat-sifat Tuhan, yang dalam istilah al-Suyuthi ayat al-Sifat, dan
dalam istilah Shubi al-Shalih mutasyabih al-Sifat ayat yang termasuk
dalam kategori ini sangat banyak di antaranya:
`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$#
Tuhan
yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy
uä!%y`ur y7u à7n=yJø9$#ur $yÿ|¹ $yÿ|¹
Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat
berbaris-baris.
uqèdur ãÏd$s)ø9$# s-öqsù ¾ÍnÏ$t6Ïã (
Dan
dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya
4tAuô£ys»t 4n?tã $tB àMÛ§sù Îû É=Zy_ «!$#
Amat
besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah
4s+ö7tur çmô_ur y7Înu rè È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur
Dan
tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
yìoYóÁçGÏ9ur 4n?tã ûÓÍ_øtã
Dan supaya kamu diasuh atas mataku
ßt «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷r& 4
Tangan Allah di atas tangan mereka
3 ãNà2âÉjyÛãur ª!$# ¼çm|¡øÿtR 3
Dan Allah memperingatkan kamu terhadap
diri (siksa)-Nya.
Dalam ayat-ayat terdapat kata-kata “bersemayam”,
“datang”, “di atas”, “sisi”, “wajah”, “mata”, “tangan”, dan “diri” yang
dibangsakan atau dijadikan sifat bagi Allah. Kata-kata ini menunjukkan keadaan,
tempat, dan anggota bagi makhluk yang baharu. Karena dalam ayat-ayat tersebut
kata-kata ini dibangsakan kepada Allah yang qadim, maka sulit dipahami maksud
yang sebenarnya, karena itu pula ayat-ayat tersebut dinamakan mutasyabih al-sifat. Selanjutnya
dipertanyakan apakah ayat-ayat ini dapat diketahui oleh manusia atau tidak?.
Dalam
hal ini Shubi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab:
1.
Mazhab Salaf,
yaitu orang-orang yang mengimani sifat-sifat mutasyabihat itu dan
menyerahkannya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari
pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya
sebagaimana sebagaimana yang diterangkan al-Qur’an serta menyerahkan urusan
mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri.
Inilah
system penafsiran yang diterapkan oleh mazhab Salaf pada umumnya terdapat
ayat-ayat mutasyabihat. Dalam menerapkan ini mempunyai dua argument, yaitu
argument naqli dan aqli. Argument aqli adalah bahwa menentukan
maksud ayat-ayat mutasyabihat hanyalah berdasarkan kaidah-kaidah
kebahasaan dan penggunaannya dikalangan bangsa Arab. Penentuan seperti ini
hanya dapat menghasilkan ketentuan yang bersifat zanni (tidak pasti).
Sedangkan sifat-sifat Allah termasuk masalah akidah yang dasarnya tidak cukup
dengan argument yang zanni. Lantaran yang qath’I (pasti) tidak
diperoleh, maka kita tawaquf (tidak memutuskan) dan menyerahkan ketentuan
maksudnya kepada Allah yang maha mengetahui.
Adapun
dalam argument naqli, mereka mengemukakan hadits.
عن عا
ئشة قالت: تلا رسول الله ص م. هذه الاية ( هوالذ انزل عليك الكاب الى قوله-
اولوالالباب) قالت: قال رسول الله ص م.: فاذا رايت الذين يتبعون ماتشابه منه
فاولئك الذين سمى الله فاحذرهم.
Al-Qur’an kepadamu…..sampai
kepada….orang-orang yang berakal” berkata ia: Rasulullah SAW bersabda: jika
engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat
daripadanya maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan Allah, maka
berhati-hatilah Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah Saw membaca ayat: “ialah
yang menurunkan terhadap mereka (HR. Bukhari dan Muslim)
من حديث
عمر وبن شعيب عن ابيه عن جده عن رسول الله ص م. قال: ان القران لم ينزل ليكذب بعضه
بعضا فما عرفتم منه فعملوابه وما تشابه فامنوا به.
Dari Amir ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari
Rasulull Saw, ia bersabda: sesungguhnya Al-Qur’an tidak diturunkan agar
sebagiannya mendustakan sebagian yang lainnya; apa yang kamu ketahui
daripadanya maka amalkanlah dan apa yang mutasyabih maka hendaklah kamu
meyakininya.
2. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan
lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang layak dengan zat Allah.
Karena itu mereka disebut pula muawwilah atau mazhab takwil. Mereka
memaknakan istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah
terhadap alam mini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan
kedatangan perintah-Nya, Allah berada di atas hambaNya dengan Allah maha
tinggi, bukan berada di satu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah”
dengan zat, “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan diri
dengan siksa. Demikian sitem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang
ditempuh oleh ulama khalaf. Semua lafal yang mengandung makna cinta dan murka
dan malu bagi Allah ditakwil dengan makna majaz yang terdekat[10]. Mereka berkata:
كل صفة يستحيل
حقيقتها على الله تعالى تفسره بلازمه
“setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi
Alah ditakwilkan dengan kelazimannya”
Mazhab ini juga mempunyai dua argument
yaitu aqli dan naqli. Menurut mereka, suatu hal yang harus
dilakukan adalah memalingkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan
kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tidak bermakna. Selama
mungkin menakwilkan kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan
untu melakukannya. Lebih lanjut mazhab ini mempertanyakan apakah mungkin ada
dalam al-Qur’aan sesuatu yang tidak kita ketahui maknanya?
Secara naqli mereka mengemukakan beberapa atsar
sahabat:
عن ابن
عبا س فى قوله (وما يعلمون تأويله الا الله والراسخون فى العلم) قال: انا ممن
يعلمون تأويله.
“Dari
Ibn Abbas tentang firman Allah: “dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah
dan orang-orang yang mendalam ilmunya”; berkata Ibn Abbas: “saya adalah di
antara orang yang mengetahui takwilnya” (Diriwayatkan oleh Ibn Munzir)
عن
الضحاك قال: الرا سخون فى العلم يعلمون تأويله لولم يعلموا ناسخه من منسوخه ولا
حلا له من حرامه ولا محكمه من متشا بهه.
“Dari al-Dhahhak, berkata ia: “orang yang mendalam
ilmunya mengetahui takwilnya. Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya
mereka tidak mengetahui nasikh dari manskhnya, halalnya dari haramnya, dan
muhkam dari mutasyabihnya” (Diriwayatkan oleh Abi Hatim)
Pada mulanya
pendapat ini tidak dapat diterima oleh para ulama termasuk Ahlus Sunnah,
kemudian ternyata sebagian Ahlus Sunnah menganutnya. Ibn Burhan dan Imam Nawawi
memilih mazhab takwil ini. Dalam syarah Muslim, Imam Nawawi berkata:
“Sesungguhnya pendapat inilah yang paling benar
karena sulit diterima akal bahwa Allah menyeru hambaNya dengan sesuatu yang
tidak mungkin bagi seorangpun dari makhlukNya dapat mengetahuinya”.
Di samping
kedua mazhab ini masih ada pendapat ketiga. Sebagaimana dikemukakan oleh
Al-Suyuthi bahwa Ibn Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua
mazhab di atas. Ibn Daqiq al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu dekat dari
bahasa Arab maka tidak di pungkiri kebolehannya, jika takwil itu jauh maka kita
tawaqquf (tidak memutuskannya) kita meyakini maknanya menurut cara yang
dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari sesuatu yang tidak layak bagiNya[11].
Secara teoritis perbedaan di atas bisa dikompromikan, dan secara praktis
penerapan Mazhab Khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual
yang semakin hari semakin berkembang dan kritis. Sebalikny Mazhab Salaf tetap
sesuai bagi masyarakat yang secara intelektual tidak menuntut penakwilan
ayat-ayat mutasyabihat. Sejalan dengan ini para ulama menyebutkan bahwa mazhab
Salaf lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh kedalam penafsiran dan
penakwilan yang menurut Tuhan salah, dan Mazhab Khalaf Khalaf lebih selamat
karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argument aqli.
E. Jenis-jenis
Ayat Mutasyabihat
Menurut Al-Zarqani, ayat-ayat mutasyabihat
dapat dibagi kepada tiga macam:
1. Ayat-ayat
yang seluruh manusia tidak mampu mengetahuinya, seperti pengetahuan tentang zat
Allah dan hakikat sifat-sifatNya, pengetahuan tentang kiamat da hal-hal gaib
lainnya. Allah berfirman dalam surat Thaha
(20):5:
`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$#
Tuhan
yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy
2. Ayat-ayat
yang setiap orang bisa mengetahui maknanya melalui penelitian dan pengkajian,
seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul karena
ringkasnya, panjangnya, ayat. Contoh firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 3:
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYtur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYtur ËF{$# ßN$oYtur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»tuur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy £`ÎgÎ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzy ÆÎgÎ xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYör& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? ú÷üt Èû÷ütG÷zW{$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 3
cÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi
pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
3. Ayat-ayat
mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu yaitu
ulama-ulama yang jernih jiwanya.
Melihat
dari pembagian ayat-ayat mutasyabihat di atas, agaknya Az-Zarqani mengelompokkan
ayat-ayat tersebut dari segi tingkat kesulitan dalam memahaminya, dalam artian
beliau mengelompokkan berdasarkan orang yang akan memahaminya, rasikh tidaknya
tingkat ilmu seseorang secara umum, para ulama secara khusus[12].
F. Hikmah
Keberadaannya Dalam Al-Qur’an
Mengenai hikmah
tentang adanya ayat-ayat mutasyabihat di dalam al-Qur’an, para ulama
telah banyak mengkaji hikmahnya, di antara hikmahnya seperti dibawah ini:
1.
Al-Suyuthi
Imam
al-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan menyebutkan empat hikmh di antaranya:
a.
Ayat-ayat mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak
untuk mengungkapkan maksudnya sehingga menambah pahala bagi para pengkajinya.
b. Sekiranya
al-Qur’an seluruhnya muhkam tentunya hanya ada satu mazhab, akan tetapi
karena al-Qur’an mengandung ayat muhkam dan matasyabihat maka
masing-masing mazhab akan menggali dalil untuk menguatkan pendapatnya.
Selanjutnya semua mazhab akan memperhatikan dan merenungkannya. Sekiranya mereka
terus menggalinya maka ayat-ayat muhkamlah yang menjadi penafsirnya.
c. Jika
al-Qur’an mengandung ayat-ayat mutasyabihat, maka untuk memahaminya
diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan lainnya.
d. Al-Qur’an
berisi dakwah terhadap orang-orang tertentu dan umum. Orang awam biasanya
kurang menyukai hal-hal yang abstarak. Oleh karena itu sebaiknya kepada mereka
disampaikan penjelasan yang sesuai dengan tingkatan akal mereka. Pertama adalah
ayat-ayatmutasyabihat yang dengannya mereka diajak bicara pada tahap
permulaan, lalu kemudian berupa ayat-ayat muhkamat yang menjelaskan hakikat yang sebenarnya.[13]
2. Al-Zarqani
Al-Zarqani
menyebutkan sepuluh hikmah keberadaan ayat-mutasyabihah dalam al-Qur’an. Empat
di antaranya hikmah yang telah disebutkan oleh al-Suyuthi di atas. Ke empat
hikmah ini dikutib oleh menjelaskan bahwa ada enam hikamah keberadaan ayat mutasyabihat
dalam al-Qur’an:
a.
Ayat-ayat mutasyabihat merupakan rahmat bagi
manusia yang lemah yang tidak adapat mengetahuisesuatu. Ketika Tuhan menampakkan
dirinya pada bukit, bukit itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan. Bagaimana
sekiranya Tuhan menampakkan hakikat zat dan sifatnya pada manusia? Tuhan
merahasiakan kapan terjadinya harikiamat merupakan rahmat bagi manusia, agar
manusia tidak bermalas-malas mempersiapkan perkalan untuk menghadapinya.
b.
Keberadaan ayat ini juga merupakan cobaan dan ujian
bagi manusia, apakah manusia percaya
atau tidak tentang hal gaib berdasarkan berita yang disampaikan oleh orang yang
benar. Orang-orang yang mendapat hidayah akan mempecayainya sekalipun mereka
tidak mengetahui rinciannya.sedangkan orang-orag yang sesat akan
mengingkarinya.
c.
Ayat-ayat ini menjadi dalil atas kelemahan dan
kebodohan manusia.
d.
Ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an
menguatkan mu’jizatnya, sebab setiap ayat mengandung arti dan makna yang
tersembunyi yang membawa kepada tasyabuh 9kesamaran) memiliki andil yang besar
dalam kebalagahannya dan sampainya ketingkat yang paling tinggi dalam
bayan.
e.
Keberadaan mutasyabihat mempermudah orang
menghafal dan memelihara al-Qur’an. Sebab setiap kalimat yang mengandung banyak
penafsiran yang berakibat ketidak jelasan akan menunjuk banyak makna yang lebih
dari pengertian yang dipahami dari kalimat asal. Sekiranya makna-makna sekunder
ini diungkapkan secara langsung niscaya al-Qur’an akan menjadi berjilid-jilid.
Hal ini tentunya menyulitkan untuk menghafal, memahami dan memeliharanya.
f.
Terkandungnya ayat muhkamat dan mutasyabihat
dalam al-Qur’an memaksa orang yang menelitinya untuk menggunakan
argument-argumen akal. Dengan demikian ia terbebas dari taklid.[14]
G.
Penutup
Di
dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Dimana
ayat-ayat muhkamat itu adalah ayat yang maknanya jelas dan terang sehingga mudah untuk dipahami. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat
adalah kebalikannya, yaitu ayat-ayat yang samar maknanya dan sulit
dimengerti maksud yang dikehendaki ayat tersebut, sehingga diperlukan usaha
untuk memahaminya. Mengenai apakah ayat-ayat mutasyabih ini ditafsirkan,
ditakwilkan atau diimani dan diserahkan maksudnya kepada Allah, para ulama
berbeda pendapat dalam hal ini. Meskipun demikian, apa yang dilakukan oleh para
ulama termasuk upaya untuk mebumikan Al-Qur’an.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Qur’an dan
Terjemahan, Bandung:
PT Syamil Cipta Media, 2002
Al-Suyuthi
Jalaluddin, Al-Itqan fi Ulumil qur’an, Kairo, 1941
Al-Zarqani, Manahilul
Qur’an fi Ulimil qur’an, Kairo, 19
Abdul Wahid
Ramli, Ulumul Qur’an, Jakarta: Raja Grafindi Persada, 1996
AM Rusydi, Ulumul
Qur’an dan Tafsir,Padang: IAIN Press, 1998
Ali Atabik dan
Zuhdi Muhdhlor Ahmad, Kamus kontemporer Arab Indonesia, Jakarta: Multi
Karya Grafika, 1998
Hasan Syadali
Hasan , Ulumul Qur’an, Jakarta:
Pustaka Setoa, 2000
[1] Atabik Ali dan
Ahmad Zuhdi Muhdhlor, Kamus kontemporer Arab Indonesia, (Jakarta: Multi
Karya Grafika, 1998), h. 45
[2] Ibid, h. 1607
[3] Departemen
Agama Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: PT Syamil Cipta Media, 2002),
h. 221
[4] Ibid, h.
461
[5] Ibid, h.
50
[6] Ramli Abdul
Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 1996), h. 83-84
[7] Departemen
Agama, op.cit, h. 29
[8] Rusydi AM, Ulumul
Qur’an dan Tafsir, (Padang: IAIN Press, 1998), h.89-90
[9] Ibid, h.91
[10] Hasan Syadali,
Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Setoa, 2000), h. 218
[11] Ibid,h. 220
[12] Al-Zarqani, Manahilul Qur’an fi Ulimil
qur’an, (Kairo, 1954) h. 278-280
[13] Jalaluddin
al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil qur’an, (Kairo, 1941), h. 13
[14] Al-Zarqani, op.cit,
h. 282-285
Tidak ada komentar:
Posting Komentar